Pages

Friday, September 9, 2016

Teman dari Masa ke Masa

Ada perasaan lega ketika segala sesak yang memayungi hati itu tumpah dalam buku catatan harian. Lenyap sudah kecemasan dan ketakutan yang menyelimuti. Beberapa teman ada yang bertanya soal apa yang biasa saya lakukan saat sedang dirundung kegamangan, kegundahan, kerisauan, dan lain hal. Menulis itu salah satunya. Karna bagi saya, menulis itu menyembuhkan. Seperti saat sakit, kita selalu butuh penawar bagi setiap rasa sakit yang diderita, maka menulislah penawarnya.

Apakah lantas setelah menulis pulih sudah keadaan seperti semula? Tidak, hal itu tentu tidak menjamin. Namun setidaknya, kita sudah memberantas rasa sakit yang membuat kita kalut. Entah sejak kapan saya mulai rutin menuangkan segala rutinitas yang saya lakukan dalam buku catatan harian, saya juga lupa sejak kapan saya mulai mengoleksi buku-buku catatan harian, yang kalau diakumulasi sejak saya masih duduk di bangku sekolah dasar mungkin sudah ada puluhan buku. Tapi tidak semuanya utuh, hanya tinggal beberapa yang masih saya simpan.

Apa susahnya sih menulis catatan harian? Tidak ada! Menulis hal-hal yang memang sudah kita alami itu biasanya mudah sekali. Apalagi buku catatan harian yang tidak peduli mau bagaimana EYD-nya, tidak peduli konten dan bahasa yang digunakan, apalagi buku catatan pribadi yang tidak dipublikasi. Peduli benar soal EYD dan tulisan macam ceker ayam. Ah, sekali lagi itu amat mudah dilakukan.

Well, sebenarnya saya cuma mau berbagi tentang teman terbaik saya dari masa ke masa sih hihi... Hingga detik ini, alhamdulillah saya masih rutin nulis diary hehe.. ngga peduli apa kata orang, “Ngapain sih curhat sama buku! Toh, buku ngga bisa ngasih solusi.” Hei hellooow.. bagi kebanyakan wanita, curhat ngga selamanya butuh solusi, kok. Setidaknya itu meringankan. Lagipula, mending curhat sama buku daripada harus nyari-nyari psikolog yang pastinya bikin dompet kering kerontang, apalagi lebih milih gegalauan di sosial media macam remaja yang –ngakunya sih– kekinian  *haha* lagipula nulis diary juga bisa jadi terapi buat diri sendiri. Saat menulis catatan harian, di sanalah waktu saya berdialog dengan diri.
Nah, ini dia sebagian koleksi buku yang belum tutup usia. *yang lainnya lewat ngga tau kemana*

CAS (Catatan Akhir Sekolah)
Ini buku saya waktu masih nyantri dulu. Kita biasa sebut CAS (Catatan Akhir Sekolah). Kalau ditilik ulang *napak tilas ceritanya* konten diary waktu jaman SMA ini, curhatannya masih gaya ABG-ABG alay gimana gitu sih. Haha itulah menariknya! Jejak saya yang pernah ABG pun masih tersisa. Ohya, buku ini sebenarnya buku tulis yang saya gabungin. Jadi ada dua buku yang saya jadikan satu. amsyong deh kere banget kan gue haha Terus supaya lebih menarik saya sampul rapi dan di dalamnya saya tempelin stiker-stiker ala anak muda gitu. Pokonya full color lah. Ngga bikin mata perih kalo ngeliat hehe..

Tampak bagian dalam buku
Buku berikutnya waktu awal-awal kuliah masih pake buku-buku diary yang ukurannya nyaris sama seperti buku tulis. Dan buku ini saya dapet waktu kita ngadain buka bersama bareng anak-anak kelas. Karna acaranya kita isi dengan sesi tuker kado, dan yeaay pas banget saya dapet buku ini.
Ternyata bukunya dari Abay
Buku berikutnya, udah beda deh selera saya. Kalo dari dulu punya koleksi buku diary yang ukurannya mirip buku tulis. Sekarang lebih suka yang imut-imut. Nah, sebenarnya fungsinya juga udah beda, sih. Kalau mini pocket book kaya yang di bawah ini biasanya saya pakai buat nulis hal-hal penting saat pergi. Untuk nyatet ide-ide yang muncul sewaktu-waktu. Tapi karna ukurannya yang mini dan lebih praktis untuk dibawa kemana-mana, sekarang saya lebih suka pakai yang begini. Covernya pun polos, ngga seperti dulu yang kelihatan childhood banget. Hihi..
Satu lagi dapet mangkok ya, Neng.
Nah, semakin berkembangnya pengetahuan dan teknologi, bukan cuma buku yang saya pakai buat nyatet-nyatet random thought atau hal-hal yang kelihatannya sepele. Saya juga pakai aplikasi color note buat nyatet semua draft, deadline tugas, atau catatan-catatan yang penting ngga penting lainnya. Kayak gini, misalnya.
Abaikan aja catetan-catetan ngga penting, ya.
Mereka itulah makhluk-makhluk tak bernyawa yang menjadi saksi perjalanan saya dari masa ke masa.

Thursday, September 8, 2016

Bapak. Sosok Paling 'Sweet' Sejagat Raya

Hallo... Assalamu'alaikum, Dear. 

Dulu semasa nyantri, saya kerap dikunjungi bapak di pondok pesantren meski hari itu bukan jadwal kunjungan saya sebenarnya. Karna biasanya saya dijenguk setiap sebulan sekali, kadang baru dua minggu bapak sudah datang menemui. Pesantren saya terletak di wilayah Leuwiliang, Bogor, yang jarak tempuh dari rumah menuju ke sana itu sekitar tiga jam. Dan –dulu– saya sering keheranan nanya sama bapak yang tiba-tiba jenguk tanpa bilang lebih dulu. Kalau ditanya, “Lho kok bapak ke sini?” Maka bukan jawaban yang saya peroleh, justeru pertanyaan tendensius kaya gini “Emang ngga ada yang kangen sama bapak di sini?” Haha *bapak mah emang paling tau*

Pada dasarnya, sosok bapak adalah sosok yang super duper romantis sama anak perempuannya. Cuma terkadang, sifat penyayangnya yang kebangetan itu ngga kelihatan karna ‘kebanyakan’ bapak itu lebih terlihat acuh. Padahal, uassliii bapak itu sweet bangeeeet *haha lebay* Sebenarnya kalau bapak saya bukan tipe bapak-bapak yang kelihatan dingin, acuh, padahal penyayang, tapi sifat penyayangnya itu memang kentara dari bagaimana ia berinteraksi pada anak perempuannya. FYI, di rumah saya jadi anak semata wayang, karna sekarang giliran ade perempuan saya yang nyantri juga. Hehe.. *gantian ya dek*

Saya, meski sudah berusia kepala dua, berasa tuaaa banget masih dianggap kaya anak kecil aja di rumah. Bener! Padahal saya cukup mandiri *mandi sendiri maksudnya* dan ngga manja apalagi meye-meye hihi.. Beberapa kerabat pun menilai kalau bapak masih menganggap saya seperti anak perempuannya yang masih krucil, yang mungkin, baru beranjak dewasa. Aiiih.. aku cukup dewasa, kok, Pak. Muehehe.. Sering banget kalau mau izin kemana-mana itu bapak kelihatan ngga yakin dan susah buat ngelepas saya yang kepengennya ke sana kemari, ngga bisa diem. Tapi untung ada mama yang selalu ngeyakinin bapak dan ngasih kepercayaan buat saya. *aseek* jadilah saya pergi dengan berbekal kepercayaan yang harus saya perjuangkan. Iya, bener! Kepercayaan itu harus diperjuangkan. Kalau saya gagal menjaganya, maka besok bisa jadi saya ngga akan dapat lagi.

Bapak bilang, “dikaruniai anak perempuan itu tanggung jawabnya besar. Kalau bapak ngga bisa jaga sebaik mungkin, nanti dipertanggungjawabkan di akhirat.” Saya sering dengar wejangan begini kalau saya udah mulai pulang malam. Lebih trenyuh lagi saat mama bilang, “kalau udah maghrib kamu belum sampai rumah itu yang disebut kamu terus, Nak.” Apalah daya saya yang paling cuma bisa bilang maaf dan kasih alasan kenapa pulang telat. Karna saya masih ngontrak di rumah orang tua, jadi harus nuruti semua aturan di rumah. Salah satu aturannya, habis shubuh saya boleh pergi kemana pun yang saya mau. Asal, maghrib harus sudah sampai di rumah. Lha wong bapak kalau punya ayam aja sore udah bapak cariin. Kamu anak, lho. Masa maghrib masih di luar ngga bapak cariin. *begitu katanya*

Saya ngga tahu tulisan tentang bapak ini akan berakhir di mana. Kalau diterusin nggak akan ada habisnya. Jadi keep aja dulu untuk postingan-postingan berikutnya. Hehehe..

Thursday, September 1, 2016

[untuk seseorang] Terima Kasih, Kini Aku Siap tuk Jatuh Cinta Lagi!

Bung, ketika aku memutuskan pergi dari hidupmu, ketahuilah bahwa di antara semua waktu yang kita miliki, Tuhan sengaja memilih hari itu. Dan, kesakitan saat harus melepaskan seseorang yang namanya acapkali kusebut dalam penggalan do’a-do’a ternyata harus kurasai lebih dulu. Kita tak perlu saling menyalahkan. Bukan salahmu, Bung, jika cerita tentang kita usai di sini. Bukan salahku, jika tak bisa lagi menitipkan segala rasa yang dulu pernah kau minta. Kita hanya sedang belajar menghadapi sebuah perubahan. Siap atau tidak, perubahan itu pasti ada!

Maka, Bung, izinkanlah aku memangkas habis-habis ranting-ranting yang menjuntai ke masa lalu. Mulai saat ini, semua telah berubah. Ada sebuah batas transparan dari dirimu yang kini tak bisa lagi kusentuh. Pikiranmu yang tak bisa lagi kuterka akan kemana tujuannya. Tenanglah, kita hanya sedang belajar menerima apapun yang telah diajarkan oleh Sang waktu. Telah kumohonkan pada harapan untuk menulis indah nama yang lain, tapi bukan untuk menghapusmu. Bahkan, telah kukatakan kepada bunga tidurku untuk melihat sosok yang lain di sana, tapi bukan untuk melupakan sosokmu yang dulu begitu kukagumi. Kau akan terus dan tetap ada, di sini. Tapi tentu di ruang yang kunamai ia kenangan, yang selalu kukunci rapat. 
Agar aku tak menyakiti ia yang datang setelahmu.

Bung, untuk apalagi kita gantungkan cita, jika langit pun telah melukis wajah muramnya. Kita hanya tinggal menunggu saja, agar waktu sesegera mungkin memudarkan. Hidup tetap harus berjalan, maka kita harus mulai menulis dan menyusun cerita-cerita lain bersama orang yang berbeda, juga di tempat yang berbeda. Akhirnya kita kembali lagi pada lintang dan bujur yang berbeda, karena hidup adalah aliran sungai yang hanya mampu kita ikuti lelikuannya, tanpa ada seorang pun yang dapat menyingkap rahasia pada muaranya. Dan untuk hidup yang telah diwarnai, semoga masing-masing kita menemukan kebahagiaan tanpa harus bersama, di tempat lain. Aku atau kau, kita tidak tercipta sebagai mutiara yang hadirnya untuk menghiasi harapan dan takdir masing-masing. Tapi setidaknya, kita memiliki kesamaan, seperti mutiara retak. Aku hanyalah serpihan mutiara retak yang didamparkan untuk masa lalumu, begitu pula kau, Bung. HANYA MUTIARA RETAK!

Maaf jika akhirnya aku memilih mundur demi kebaikan-kebaikan lain yang akan kau peroleh nanti. Juga sebaliknya. Langkahku semakin jauh, melepasmu adalah langkah terbaik demi menjaga perasaan ini dari pergerakan luka yang bisa memperburuk kondisi hati. Biar nanti, kumohonkan pada waktu untuk mengajariku melupakanmu, bukan untuk membencimu. Sama sepertimu, aku juga telah berlari panjang. Terlampau banyak fragmen hidup yang terjadi di sini, setelah kepergianmu. Setiap fragmen itu menjadi potongan kenangan, dan setiap kenangan itu menerbitkan kerinduan. Kau tahu, rindu itu selalu menyiksa, bukan? Tapi tenang saja, Bung! Dadaku ini seperti senja, cukup lapang untuk menampung gelap dan cahaya, juga duka dan suka. Sebab bagiku, luka hanyalah pernik kecil dari rantai bahagia.

Memasuki pekarangan hatimu adalah cara terbaik mengenal cinta. Cinta telah melahirkan begitu banyak kata dan aku merasakannya. Maka malam ini, akan meluap sekali ucapan terima kasihku untukmu, Bung. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi membahasakan bahwa cinta yang sama-sama kita pahami dulu, telah mengajariku banyak hal. Memupuk sedikit kedewasaan dan membentuk kebijakan. Bahkan sampai akhirnya aku mengerti banyak mengenai cinta dan kesakitan. Dua hal yang semestinya sudah kupersiapkan jauh sebelum kata ‘cinta’ itu dideklarasikan di antara kita, ya. Baiklah, kurasa ini saja. Matahari akan tetap terbit meski ada sendu di wajahnya, ia juga akan tetap terbenam. Pun, kita akan baik-baik saja. Aku pamit, selamat menemukan yang lain selain aku. Terima kasih, kini aku siap untuk jatuh cinta lagi!

NB: Fiksi ini pernah diikutkan dalam event #CINTADALAMKATA yang diadakan oleh IDNTimes yang hanya lolos sampai final saja, hehehe... :D
*udah ngga usah baper, ah! INI FIKTIF, KOK!

Sebab Kesempatan Tak Selamanya Dua

Hallo... Assalamu'alaikum, Dear.

Beranjak dewasa, tak jarang masing-masing kita membuat rencana-rencana hidup untuk 5 sampai 20 tahun mendatang. Peta hidup, begitu kita menyebutnya. Dengan begitu, kita berharap agar hidup bisa lebih terarah dan terstruktur. Sehingga apapun yang kita lakukan menjadi tak sia-sia, ada tujuan yang ingin kita capai di sana. Adanya target dan tujuan hidup yang membuat bangun pagi menjadi sebuah rutinitas yang menyenangkan. Mengetahui apa yang kita inginkan dan mendapatkan apa yang kita mimpikan. Maka, kita perlu menyesuaikan tujuan kita dengan apa yang kita sukai saat ini, jangan buat tujuan menjadi sesuatu yang membosankan, sehingga tak ada gairah untuk mencapainya.

Kurt W. Mortensen dalam bukunya yang berjudul “Persuasion IQ” berkata, saya meyakini bahwa di dalam diri kita masing-masing terdapat buku yang belum ditulis, bisnis yang belum dimulai, ide-ide brilian, penemuan-penemuan hebat, gagasan-gagasan amal, dan energi-energi yang belum dimanfaatkan.

Setiap orang tentu pernah dihadapkan pada beberapa pilihan. Saat di mana mereka harus mengambil keputusan yang (mungkin) sama-sama rumit dan berisiko. Kembali pada persoalan peta hidup, percayalah, bahwa sebagai makhluk, kita hanya diberi wewenang untuk menyusun, memilih, dan menjalani rencana saja. Beruntung jika kenyataannya sesuai dengan apa yang diharapkan. Tetapi tak jarang segelintir orang justeru memilih berlari dari takdir satu dan menuju takdir yang lain. Kesempatan, kesempatanlah yang mengubah lajunya alur hidup buatan. Kesempatan membelokkan kemungkinan satu menuju kemungkinan-kemungkinan lain.

Esok, selama kesempatan baik itu masih ada, maka pergunakan secerdas mungkin. Sebab kesempatan tak selamanya dua. Meski jauh dari apa yang kita harapkan, dari apa yang kita petakan, mohonlah, agar akhir dari setiap pekerjaan yang kita kerjakan membuahkan kebaikan, bukan hanya hasil yang membanggakan. Karna terkadang, apa yang kita anggap rumit, berat, susah, ternyata justeru mudah sekali dilalui. Pun sebaliknya, hal-hal yang kerap kita naggap enteng, remeh, ternyata nyaris membuat kita lengser, mereka justeru sukar sekali dilewati.

Yuk, tinggalkan jejak!

Terima kasih teman-teman yang sudah berkunjung. Silakan berkomentar di sini... ^_^

Sincerely, Ratih Dian.