Pages

Tuesday, July 19, 2016

Perjalanan Sebutir Nasi


Hallo.. Assalamu’alaikum, Dear...

Musim mudik telah berakhir, meski saya sendiri telah kembali ke Jakarta demi menekuni rutinitas yang biasa saya lakukan, namun jejak-jejak perjalanan dan -tentunya- masakan sedap ala kampung masih ada. Setelah 14 hari berada di kampung halaman, banyak sekali hal-hal lama yang baru saya pahami sekarang. Lagi-lagi soal sudut pandang, terkadang pertanyaan hidup yang sempat saya ajukan beberapa waktu lalu mungkin baru akan terjawab setelah saya menyaksikan dan merasakan sendiri suatu peristiwa seiring berjalannya siklus kehidupan.

Setiap perjalanan tentunya, akan ada hal-hal menarik yang kita temui. Sesepele apapun, tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya. Seperti biasa, musim lebaran kali ini bertepatan dengan datangnya waktu panen bagi petani di desa saya. Jadi jangan heran kalau di hari ke-dua di bulan Syawwal beberapa dari mereka –petani desa- mungkin sudah ada yang langsung bergegas menyiapkan dirinya untuk pergi ke sawah. Begitu pula yang saya rasakan.

Biasanya, keluarga kami melakukan plesir di hari ke-dua atau ke-tiga di bulan Syawwal. Tapi tidak pada lebaran kali ini. Karna kami harus kebagian sibuknya menjadi seorang petani desa. Beruntungnya saya masih menjadi bagian dari keluarga petani desa. Karna dari sinilah proses belajar dimulai. Mulai dari bagaimana saya diajarkan memotong batang padi yang akan diangkut untuk diambil ‘calon berasnya’, lalu diblower (istilah kampung) untuk mendapatkan calon beras yang sempurna, lalu dikarungkan, dan ditimbang. Sebelum diblower, calon beras yang telah dikarungi itu harus dibawa ke pinggir jalan utama yang jaraknya bisa sejauh 3 kilometer dari sawah. Luar biasa, bukan?

Dari proses belajar itulah, salah satunya, saya mengambil kesimpulan untuk lebih menghargai setiap butir nasi yang saya makan. Karna sekarang saya tahu, untuk sebutir nasi dibutuhkan usaha yang tak sedikit dan cukup memakan waktu lama. Dan saya menjadi sedikit mengerti, tentang seberapa jauh perjalanan yang mereka tempuh untuk sampai di kebun masing-masing, tentang betapa sedikitnya penghasilan yang mereka peroleh yang –menurut saya- tidak sesuai dengan pekerjaan keras yang mereka lakukan, juga tentang bagaimana memperoleh hasil panen yang optimal. 

Saya sendiri takjub melihat kegigihan para pekerja yang tulus sekali menghabiskan waktunya di tengah teriknya matahari. Meski akan ada hasil dari padi-padi yang sudah datang masa panennya. Tapi dari kebiasaan yang saya tahu, masyarakat di desa saya memanen padi bukan untuk diangkut oleh truk-truk licence buying company (LBC), namun padi-padi itu akan disimpan sendiri untuk kebutuhan pangannya sehari-hari. Terakhir, saya merasa bangga sekali menjadi bagian dari keluarga petani desa.

No comments:

Yuk, tinggalkan jejak!

Terima kasih teman-teman yang sudah berkunjung. Silakan berkomentar di sini... ^_^

Sincerely, Ratih Dian.