Hallo..
Assalamu’alaikum, Dear...
Musim mudik telah berakhir, meski saya sendiri telah kembali ke Jakarta demi menekuni rutinitas yang biasa saya lakukan, namun jejak-jejak perjalanan dan -tentunya- masakan sedap ala kampung masih ada. Setelah 14 hari berada di kampung halaman, banyak sekali hal-hal lama yang baru saya pahami sekarang. Lagi-lagi soal sudut pandang, terkadang pertanyaan hidup yang sempat saya ajukan beberapa waktu lalu mungkin baru akan terjawab setelah saya menyaksikan dan merasakan sendiri suatu peristiwa seiring berjalannya siklus kehidupan.
Setiap
perjalanan tentunya, akan ada hal-hal menarik yang kita temui. Sesepele apapun,
tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya. Seperti biasa, musim
lebaran kali ini bertepatan dengan datangnya waktu panen bagi petani di desa
saya. Jadi jangan heran kalau di hari ke-dua di bulan Syawwal beberapa dari
mereka –petani desa- mungkin sudah ada yang langsung bergegas menyiapkan
dirinya untuk pergi ke sawah. Begitu pula yang saya rasakan.
Biasanya,
keluarga kami melakukan plesir di hari ke-dua atau ke-tiga di bulan
Syawwal. Tapi tidak pada lebaran kali ini. Karna kami harus kebagian
sibuknya menjadi seorang petani desa. Beruntungnya saya masih menjadi bagian
dari keluarga petani desa. Karna dari sinilah proses belajar dimulai. Mulai
dari bagaimana saya diajarkan memotong batang padi yang akan diangkut untuk
diambil ‘calon berasnya’, lalu diblower (istilah kampung) untuk
mendapatkan calon beras yang sempurna, lalu dikarungkan, dan ditimbang. Sebelum
diblower, calon beras yang telah dikarungi itu harus dibawa ke pinggir
jalan utama yang jaraknya bisa sejauh 3 kilometer dari sawah. Luar biasa,
bukan?
Dari
proses belajar itulah, salah satunya, saya mengambil kesimpulan untuk lebih
menghargai setiap butir nasi yang saya makan. Karna sekarang saya tahu, untuk
sebutir nasi dibutuhkan usaha yang tak sedikit dan cukup memakan waktu lama.
Dan saya menjadi sedikit mengerti, tentang seberapa jauh perjalanan yang mereka
tempuh untuk sampai di kebun masing-masing, tentang betapa sedikitnya penghasilan
yang mereka peroleh yang –menurut saya- tidak sesuai dengan pekerjaan keras
yang mereka lakukan, juga tentang bagaimana memperoleh hasil panen yang
optimal.
Saya
sendiri takjub melihat kegigihan para pekerja yang tulus sekali menghabiskan
waktunya di tengah teriknya matahari. Meski akan ada hasil dari padi-padi yang
sudah datang masa panennya. Tapi dari kebiasaan yang saya tahu, masyarakat di
desa saya memanen padi bukan untuk diangkut oleh truk-truk licence buying
company (LBC), namun padi-padi itu akan disimpan sendiri untuk kebutuhan
pangannya sehari-hari. Terakhir, saya merasa bangga sekali menjadi bagian dari
keluarga petani desa.
No comments:
Post a Comment