Pages

Wednesday, July 27, 2016

Lain Arah, Lain Tujuan

Hallo... Assalamu'alaikum, Dear.

Kehidupan itu seperti novel. Ada pesan-pesan bermakna yang dapat kita ambil hikmahnya, ada tokoh-tokoh yang dapat kita teladani sisi baik karakternya, ada alur yang berjalan sesuai dengan yang penulis tuliskan di sana. Bedanya, jalan hidup tokoh di dalam novel diciptakan oleh penulis buku itu, sedangkan kita ‘ditulis’ langsung oleh Yang Maha Kuasa. Tapi, itu semua tergantung bagaimana mata, hati, dan pikiran kita memaknainya. Untuk membaca dan memahami isi dari buku tersebut, dibutuhkan kepekaan. Tentunya sama seperti kepekaan sosial yang menjadi tolak ukur bagaimana kita menyikapi sesama.

Baiklah kali ini maaf, saya harus mengeluh. Honestly, saya bukan tipikal orang yang doyan ngeluh. Tapi sesekali ngga papa deh ya. Karna sekarang saya lelah. Lelah. Lelaaaah. *aduuh ngga jelas deh* Sepertinya saya mulai oleng menghadapi teman-teman yang tak searah, tak satu tujuan. Tapi,tunggu dulu! Bukankah perbedaan adalah hal menarik yang ada dalam setiap hubungan? Bukankah perbedaan adalah rahmat sebagaimana yang disabdakan Nabi kita? Lalu bagaimana bisa saya tidak menyukai adanya perbedaan di dunia? Aaah, itu sama artinya saya tak mensyukuri anugerah Tuhan yang menciptakan setiap kepala dengan segala perspektif yang berbeda.

Udah segitu aja. Malam ini sedikit kecewa. Tuhkan sampe bingung mau ngasih judul apa ._.


Tuesday, July 19, 2016

Tentang Tere Liye


Hallo.. Assalamu’alaikum, Dear...

Tere Liye, terlepas dari nama besar dan ribuan pujian atas karya-karyanya, saya memang sudah jatuh hati pada penulis yang satu ini sejak usia saya 13 tahun (waktu masih unyu-unyu). Hafalan Shalat Delisa, itulah judul buku pertamanya yang saya baca, yang kemudian menyusul buku-buku berikutnya. Alasannya sederhana sekali, saya ngga tahan sama tema-tema yang diusung: keluarga, persahabatan, cinta, dan kehidupan. Tere Liye berusaha memberikan contoh real yang dekat dengan kehidupan kita. aiiih.. beginilah si melankolis. 

Sekarang saya mengerti mengapa penulis ini begitu digemari oleh banyak kalangan. Karna selain tema yang diusung itu ringan dan kerap kali kita temui dalam kehidupan, penuturannya yang sederhana mampu menyisakan pesan-pesan positif yang dapat kita petik hikmahnya. Mengupas dan menjawab satu per satu pertanyaan kehidupan. Perlahan, sedikit demi sedikit, tapi mampu mengajak kita berpikir mendalam. Sarat makna. Karna setiap kata-kata, setiap kalimat yang tertulis bersifat universal, yang terkadang, manusia sering mengalaminya dalam frame kehidupan. Meski entah kapan dan bagaimana kejadiannya. That’s a life!

Harus saya akui, dan mungkin ini semacam peringatan bagi yang tertarik untuk membaca karya-karyanya yang juga membuat saya lelah secara emosional saat membacanya. Tentu saja ini bukan hal negatif, malah sebaliknya, saya sangat menyukai tulisan-tulisan yang berhasil memutar-balikkan perasaan. Tentang gaya bercerita, nama Tere Liye sudah merupakan jaminan mutu bahwa kita akan dihadapkan pada sebuah karya yang bagus. Sebuah karya yang menggunakan bahasa Indonesia dengan baik namun tidak terkesan kaku. Nah, untuk hal ini, tentu Tere Liye sama juaranya dengan Andrea Hirata, Helvy Tiana Rosa, dan penulis-penulis Indonesia lainnya.

Damn! I love this author...

Ohya, kalau buku saja banyak manfaatnya dan bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan kehidupan, apalagi al-Qur’an. Nah, tentu akan panjang sekali tulisannya kalau yang dikupas adalah isi dan kandungan al-Qur’an.

Perjalanan Sebutir Nasi


Hallo.. Assalamu’alaikum, Dear...

Musim mudik telah berakhir, meski saya sendiri telah kembali ke Jakarta demi menekuni rutinitas yang biasa saya lakukan, namun jejak-jejak perjalanan dan -tentunya- masakan sedap ala kampung masih ada. Setelah 14 hari berada di kampung halaman, banyak sekali hal-hal lama yang baru saya pahami sekarang. Lagi-lagi soal sudut pandang, terkadang pertanyaan hidup yang sempat saya ajukan beberapa waktu lalu mungkin baru akan terjawab setelah saya menyaksikan dan merasakan sendiri suatu peristiwa seiring berjalannya siklus kehidupan.

Setiap perjalanan tentunya, akan ada hal-hal menarik yang kita temui. Sesepele apapun, tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya. Seperti biasa, musim lebaran kali ini bertepatan dengan datangnya waktu panen bagi petani di desa saya. Jadi jangan heran kalau di hari ke-dua di bulan Syawwal beberapa dari mereka –petani desa- mungkin sudah ada yang langsung bergegas menyiapkan dirinya untuk pergi ke sawah. Begitu pula yang saya rasakan.

Biasanya, keluarga kami melakukan plesir di hari ke-dua atau ke-tiga di bulan Syawwal. Tapi tidak pada lebaran kali ini. Karna kami harus kebagian sibuknya menjadi seorang petani desa. Beruntungnya saya masih menjadi bagian dari keluarga petani desa. Karna dari sinilah proses belajar dimulai. Mulai dari bagaimana saya diajarkan memotong batang padi yang akan diangkut untuk diambil ‘calon berasnya’, lalu diblower (istilah kampung) untuk mendapatkan calon beras yang sempurna, lalu dikarungkan, dan ditimbang. Sebelum diblower, calon beras yang telah dikarungi itu harus dibawa ke pinggir jalan utama yang jaraknya bisa sejauh 3 kilometer dari sawah. Luar biasa, bukan?

Dari proses belajar itulah, salah satunya, saya mengambil kesimpulan untuk lebih menghargai setiap butir nasi yang saya makan. Karna sekarang saya tahu, untuk sebutir nasi dibutuhkan usaha yang tak sedikit dan cukup memakan waktu lama. Dan saya menjadi sedikit mengerti, tentang seberapa jauh perjalanan yang mereka tempuh untuk sampai di kebun masing-masing, tentang betapa sedikitnya penghasilan yang mereka peroleh yang –menurut saya- tidak sesuai dengan pekerjaan keras yang mereka lakukan, juga tentang bagaimana memperoleh hasil panen yang optimal. 

Saya sendiri takjub melihat kegigihan para pekerja yang tulus sekali menghabiskan waktunya di tengah teriknya matahari. Meski akan ada hasil dari padi-padi yang sudah datang masa panennya. Tapi dari kebiasaan yang saya tahu, masyarakat di desa saya memanen padi bukan untuk diangkut oleh truk-truk licence buying company (LBC), namun padi-padi itu akan disimpan sendiri untuk kebutuhan pangannya sehari-hari. Terakhir, saya merasa bangga sekali menjadi bagian dari keluarga petani desa.

Sunday, July 17, 2016

Virus yang menular


 Hallo.. Assalamu’alaikum, Dear...

Suatu kali saat mama ingin pergi keluar –menginap- saya yang membenahi isi tasnya. Beberapa kali mama minta saya untuk mondar-mandir dari atas ke bawah untuk mengambilkannya keperluan yang akan dibawa. Saat itulah saya mulai iseng menyelipkan buku agar di jalan mama tak lupa membaca. Sejauh yang saya tahu, mama memang senang membaca, tapi agak malas kalau harus membawa buku kemana-mana. Mama tersenyum saat memeriksa isi tasnya sebelum berangkat. Tentu waktu itu saya tersenyum jail, berharap mama tak dongkol dengan anak nakalnya ini.

Beberapa waktu kemudian, setiap kali ingin pergi, mama terbiasa sekali membawa buku kemana-mana. Karna itu pula, saya kerap bertanya soal buku mana yang belum dibaca atau buku seperti apa yang ingin dilahap. Tentu dengan harapan saya bisa membelikannya buku-buku baru yang ingin mama baca. Bahkan dalam suatu perjalanan, tak jarang mama membawa pulang beberapa buku ke rumah. Biasanya hal itu yang saya lakukan. Dan saya senang bisa menularkan virus itu pada orang yang saya cintai.

Kemudian, teman saya adalah korban berikutnya yang terjangkit virus membaca dan doyan jajan buku. Entah bagaimana awalnya, dulu saya kerap memintanya untuk menemani saya hunting buku. Dari situlah, saya mulai mempromosikan master piece milik penulis-penulis favorit saya hehe... Alhasil, teman saya pun penasaran dan meminjam buku karya penulis-penulis buku best seller yang menjadi koleksi pribadi. Selesai membaca buku itu, ia bilang, “Dulu sama sekali ngga doyan baca loh, dan ternyata nagih ya. Saya seperti menemukan dunia baru.” 

Tentu waktu itu saya tersenyum senang. Perkenalan saya dengan teman yang satu ini ternyata menularkan virus membaca. Semoga minat baca orang-orang di sekitar kita semakin tinggi. Setelah membaca, jangan lupa luangkan waktu untuk menulis.

Ada kutipan menarik yang saya ambil dari sebuah artikel dalam  majalah Tarbawi edisi 125, tertulis di sana bahwa seorang pemikir muslim asal Aljazair menemukan adanya korelasi positif antara pengetahuan dan keindahan. Menjadi indah adalah efek pengetahuan. Pengetahuan membuka ruang kemungkinan lebih luas dan menambah kemahiran sehingga membuat manusia lebih berdaya. Keberdayaan meningkatkan harapan dan kepercayaan yang akhirnya mewariskan kegembiraan jiwa. Inilah yang membuat senyum kita menjadi lebih renyah. Senyum renyah itu memancar dari kepercayaan diri yang beralasan dan harapan yang permanen. Sorot mata dan garis-garis wajah kita  menjadi lebih indah karena pengetahuan dan membaca.

Jadi, teman-teman yang budiman, masih malas membaca???

Yuk, tinggalkan jejak!

Terima kasih teman-teman yang sudah berkunjung. Silakan berkomentar di sini... ^_^

Sincerely, Ratih Dian.