Bung, ketika aku
memutuskan pergi dari hidupmu, ketahuilah bahwa di antara semua waktu yang kita
miliki, Tuhan sengaja memilih hari itu. Dan, kesakitan saat harus melepaskan seseorang
yang namanya acapkali kusebut dalam penggalan do’a-do’a ternyata harus kurasai
lebih dulu. Kita tak perlu saling menyalahkan.
Bukan salahmu, Bung, jika cerita tentang kita usai di sini. Bukan salahku, jika
tak bisa lagi menitipkan segala rasa yang dulu pernah kau minta. Kita hanya
sedang belajar menghadapi sebuah perubahan. Siap atau tidak, perubahan itu
pasti ada!
Maka, Bung,
izinkanlah aku memangkas habis-habis ranting-ranting yang menjuntai ke masa
lalu. Mulai saat ini, semua telah berubah. Ada sebuah batas transparan dari
dirimu yang kini tak bisa lagi kusentuh. Pikiranmu yang tak bisa lagi kuterka
akan kemana tujuannya. Tenanglah, kita hanya sedang belajar menerima apapun
yang telah diajarkan oleh Sang waktu. Telah kumohonkan pada harapan untuk
menulis indah nama yang lain, tapi bukan untuk menghapusmu. Bahkan, telah
kukatakan kepada bunga tidurku untuk melihat sosok yang lain di sana, tapi
bukan untuk melupakan sosokmu yang dulu begitu kukagumi. Kau akan terus dan
tetap ada, di sini. Tapi tentu di ruang yang kunamai ia kenangan, yang selalu
kukunci rapat.
Agar aku tak menyakiti ia yang datang setelahmu.
Bung, untuk
apalagi kita gantungkan cita, jika langit pun telah melukis wajah muramnya.
Kita hanya tinggal menunggu saja, agar waktu sesegera mungkin memudarkan. Hidup
tetap harus berjalan, maka kita harus mulai menulis dan menyusun cerita-cerita
lain bersama orang yang berbeda, juga di tempat yang berbeda. Akhirnya kita
kembali lagi pada lintang dan bujur yang berbeda, karena hidup adalah aliran
sungai yang hanya mampu kita ikuti lelikuannya, tanpa ada seorang pun yang
dapat menyingkap rahasia pada muaranya. Dan untuk hidup yang telah diwarnai,
semoga masing-masing kita menemukan kebahagiaan tanpa harus bersama, di tempat
lain. Aku atau kau, kita tidak tercipta sebagai mutiara yang hadirnya untuk
menghiasi harapan dan takdir masing-masing. Tapi setidaknya, kita memiliki
kesamaan, seperti mutiara retak. Aku hanyalah serpihan mutiara retak yang
didamparkan untuk masa lalumu, begitu pula kau, Bung. HANYA MUTIARA RETAK!
Maaf jika
akhirnya aku memilih mundur demi kebaikan-kebaikan lain yang akan kau peroleh
nanti. Juga sebaliknya. Langkahku semakin jauh, melepasmu adalah langkah
terbaik demi menjaga perasaan ini dari pergerakan luka yang bisa memperburuk
kondisi hati. Biar nanti, kumohonkan pada waktu untuk mengajariku melupakanmu, bukan
untuk membencimu. Sama sepertimu, aku juga telah berlari panjang. Terlampau
banyak fragmen hidup yang terjadi di sini, setelah kepergianmu. Setiap fragmen
itu menjadi potongan kenangan, dan setiap kenangan itu menerbitkan kerinduan. Kau
tahu, rindu itu selalu menyiksa, bukan? Tapi tenang saja, Bung! Dadaku ini
seperti senja, cukup lapang untuk menampung gelap dan cahaya, juga duka dan
suka. Sebab bagiku, luka hanyalah pernik kecil dari rantai bahagia.
Memasuki
pekarangan hatimu adalah cara terbaik mengenal cinta. Cinta telah melahirkan
begitu banyak kata dan aku merasakannya. Maka malam ini, akan meluap sekali
ucapan terima kasihku untukmu, Bung. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi
membahasakan bahwa cinta yang sama-sama kita pahami dulu, telah mengajariku
banyak hal. Memupuk sedikit kedewasaan dan membentuk kebijakan. Bahkan sampai akhirnya
aku mengerti banyak mengenai cinta dan kesakitan. Dua hal yang semestinya sudah
kupersiapkan jauh sebelum kata ‘cinta’ itu dideklarasikan di antara kita, ya. Baiklah,
kurasa ini saja. Matahari akan tetap terbit meski ada sendu di wajahnya, ia
juga akan tetap terbenam. Pun, kita akan baik-baik saja. Aku pamit, selamat menemukan
yang lain selain aku. Terima kasih, kini aku siap untuk jatuh cinta lagi!
NB: Fiksi ini
pernah diikutkan dalam event #CINTADALAMKATA yang diadakan oleh IDNTimes yang
hanya lolos sampai final saja, hehehe... :D
*udah ngga usah
baper, ah! INI FIKTIF, KOK!
No comments:
Post a Comment