Pages

Wednesday, October 19, 2016

We were Born to be Somebody

Memang, tak seorang pun mampu memilih dari rahim mana ia dilahirkan. Namun, ia dapat memilih bagaimana akhir dari setiap perjalanan. Jika hal tersebut menjadi alasan untuk mengubur impian, maka merugilah diri. Setiap orang hebat dengan keahliannya masing-masing. Tuhan sengaja menitipkan potensi pada masing-masing jiwa, barangkali. Agar kemudian kita gunakan sebagai akses untuk meraih mimpi.

Setiap orang terlahir untuk menjadi seseorang yang berarti. Menjadi pribadi dengan segudang potensi dan kecerdasan yang dimiliki. Kita mampu meraih segala keinginan. Akan tetapi dibutuhkan sebuah ketekunan untuk mencapai sesuatu. Maka kita tidak perlu cemas perihal masa depan. Berjalan saja. Kita hanya perlu lebih awas agar tidak terjatuh, terperosok, atau terjerembab. Bahkan saat terjatuh, terperosok, atau terjerembab pun kita tidak perlu cemas. Tinggal bangkit dan berjalan lagi. Sesederhana itu.

Ini hari baru. Sejak dilahirkan, setiap berputarnya waktu adalah hari baru bagi kita. Hari yang selalu menawarkan pilihan. Hari di mana kita harus merelakan kesempatan yang satu dan merenggut kesempatan-kesempatan lain. Berlari dari takdir satu dan menuju takdir lainnya. Menghapus satu kemungkinan dan menulis kemungkinan-kemungkinan lain. Hari di mana segala ketidakmungkinan harusnya dipatahkan.

Dalam perjalanan hidup seseorang, selalu ada bagian menarik yang membuat seseorang itu seperti atau menjadi yang sekarang. Karna pada akhirnya, segala bentuk kegelisahan perihal bagaimana masa depan kita kelak, kembali pada bagaimana kita sanggup menaklukkan diri sendiri. Bisa jadi, tempat di mana kita berdiri sekarang adalah wujud dari kebaikan semesta yang membantu kita untuk sampai pada tujuan.

Berjuanglah bersama kawan yang menghargai setiap kesempatan. Tinggalkan mereka yang mengagung-agungkan keraguan. Jika terlalu nyaman menikmati ragu, maka kesalahan takkan mengajari kita apa-apa. Mimpi yang menanti pun tak kunjung menjadi nyata.

Monday, October 17, 2016

Nowadays, Everyone is a Writer


“Writing is My Heart Is.”

Kata-kata di atas cukup mewakili sebagian orang, sepertinya. Related to our topic, saya menilik kembali buku pak Bambang Trim yang berjudul “Jagat Penulisan dan Penerbitan,” yang mana dalam buku tersebut ia menyatakan bahwa hari ini, menulis bukan lagi keterampilan yang diminati oleh beberapa orang saja, atau hanya bagi mereka yang dikaruniai bakat untuk meracik kata. Menurutnya, menulis adalah lifeskill. Artinya, menulis adalah kemampuan yang dimiliki oleh setiap orang. Tidak terkecuali, Anda, mungkin.

Era media sosial telah tiba. Dan ini mendorong setiap orang untuk mengekspresikan gagasan-gagasannya dalam bentuk tulisan, maupun audio-video. Facebook, misalnya. Facebook menyediakan fasilitas wall agar penggunanya dapat menuliskan sesuatu kapanpun dan dimana pun. Tulisan di media sosial ini yang kemudian memberi akses kepada siapapun untuk menjelajahi dunia kita, menjadi sarana untuk berbagi banyak hal melalui tulisan [Re: status], yang kemudian tulisan tersebut dapat direspons oleh pengguna lain yang berada dalam jaringan pertemanan sang statuser.

Hal inilah yang menyebabkan banyak orang mendadak aktif menulis setiap hari. Meski tak sedikit dari mereka yang menuangkan gagasan-gagasannya dengan tujuan untuk memprovokasi, membuat tulisan dengan konten-konten negatif atau tulisan yang sengaja dibuat untuk memihak pada satu golongan tertentu, dan lain hal. Untuk itu, kita sebagai pengguna tentu dituntut untuk lebih bijak dan cerdas dalam memilah tulisan yang bertebaran di media sosial.

Everyone is a Writer, kali ini akan saya buat sedikit melenceng. Masing-masing kita adalah penulis. Karna sejatinya, kita adalah penulis bagi setiap kebajikan dan keburukan yang kita lakukan. Setiap perbuatan baik atau buruk, masing-masing ada balasannya. Kita adalah pemeran utama dalam skenario Tuhan. Maka kita hanya perlu memilih, alur seperti apa yang akan mengantarkan kita pada klimaks yang memukau.

Minggu Malam: Terjaga


*01:07*

Dini hari (saya pikir), masih terjaga. Satu jam sebelumnya saya baru bergegas menuju tempat tidur. Namun sebelum tidur, saya masih mau mengotak-atik handphone, terlebih untuk urusan alarm. Saat itulah, tiba-tiba seorang kawan mengirimi saya pesan via whatsapp.

“Ping!”

Pesan singkat yang ia kirim berkali-kali itu cukup menarik perhatian saya yang kala itu sudah acuh dan berniat membalasnya esok. Tapi saya yang belum dihujani kantuk dan enggan memejamkan mata saat itu, akhirnya tergerak untuk membalas pesan. Khawatir ada hal penting yang ingin ia sampaikan larut malam begini.

“Ada apa, Cantiiik? Gue baru mau tidur.” Saya membalas.

“Boong. Biasanya juga ngga tidur.” Balasnya lagi.

[*dalam hati* Oh, saya pikir ada apa. Okefixx ini ngga terlalu penting. Hahaha.]

Kemudian saya membalasnya lagi dengan niat –ini pesan terakhir malem ini, lanjut lagi besok aja–

“Haha. Gue bukan Tuhan, ah. Butuh tidur banget ini.” *oke itu kode–fix percakapan berakhir*

Sebelum tidur, setelah mengeset alarm, saya menonaktifkan sambungan data, dan seperti biasa, handphone saya aktifkan dalam mode penerbangan.

[terakhir pegang handphone malam itu jam 00:20]

Usai sudah aktifitas saya dengan mba, de, atau mas smartphone. Saya mulai komat-kamit baca ‘mantra’ sebelum tidur. Lalu entah apa yang sebenarnya saya pikirkan saat itu, dan berlangsung cukup lama.

Singkat cerita, saya masih mendengar desis pintu kamar mama yang –jika berbunyi– itu berarti ada yang membuka pintu. Karna pintu kamar saya, dibiarkan terbuka, saya melihat mama –yang berjalan agak sempoyongan persis orang mabuk– menuju kamar kecil. Lepas dari toilet, saya merasakan derap langkah kaki mama yang berjalan ke arah kamar saya. Mendekat. Lalu menggoyangkan bahu saya *yang saat itu sebenarnya saya belum tidur*. Kemudian mama bilang, “Ayo bangun, Mba. Udah 
hampir shubuh, katanya mau qadha puasa. Sahur dulu.”

Whaaaaaaat?

Mata saya yang –sebenarnya– lagi ngga beneran merem itu terbelalak. Oh My Robb. Jadi saya beneran ngga tidur malam ini. Aaaaak! Mana hari Senin masuk pagi. Belum lagi besok sebelum berangkat harus ini-itu dulu. Saya terus bersungut dalam hati. Jadi waktu masih terjaga itu saya pikir masih dini hari, dan entah apa yang terlintas di pikiran selama beberapa jam itu. Pikiran-pikiran itu mengantarkan saya pada sepertiga malam terakhir. Ngga berasaaaaa. Aduh, mikirin apa sih???

Itulah, saat tidur, mestinya kita lepas semua lelah. Hingga tak ada lagi celah bagi setiap pikiran yang mengusik nyenyak.

Sunday, October 16, 2016

Allah Tidak Pernah Tidur

Teringat sekuel novel Sepatu Dahlan, saya membuka kembali lembar demi lembar novel berjudul Surat Dahlan yang ditulis oleh Daeng Khrisna Pabichara tersebut. Berharap memperoleh ide yang bisa saya tuangkan di blog ini. Seketika jemari saya terhenti tepat di halaman 91, bagian yang menceritakan saat ayahanda Dahlan bujang mengiriminya surat.

Seperti bapak saya dulu, beliau juga kerap mengirimi saya paket yang di dalamnya diselipi amplop uang dan surat. Hihi *macam anak rantau saja* Itu dulu, kala saya masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas. Dan memang benar, sepertinya saya juga patut disebut sebagai ‘perantau’. Meski jaraknya hanya antar kota saja. Jakarta-Bogor.

Baiklah, saya tidak akan membahas perihal surat-menyurat itu di sini. Tapi isi surat tersebut yang saya ambil untuk mengingat kembali kisah yang –mungkin– sebagian teman-teman pernah menyimaknya namun sudah raib entah kemana.

Teman-teman masih ingat kisah tentang kegeraman Nabi Musa karena pertanyaan Bani Israil yang meremehkan Allah? Jika lupa, baiklah, akan saya dongengkan lagi –berdasarkan tulisan Daeng Khrisna– di sini.

Seperti dikisahkan oleh Ibnu Abbas, suatu waktu, orang-orang Bani Israil bertanya kepada Nabi Musa a.s., “Wahai Musa, apakah Tuhanmu tidur?” Mendengar pertanyaan itu, Nabi Musa gusar dan menjawab, “Takutlah kalian kepada Allah, sungguh, pertanyaan kalian tidak layak dilontarkan.”

Tak lama berselang, Allah berseru kepada Nabi Musa, “Wahai Musa, mereka bertanya apakah aku tidur? Baiklah, ambil dua botol. Pegang kedua botol itu dengan masing-masing tanganmu sampai pagi tiba. Ingat, pegang erat! Jangan sampai botol itu jatuh dan pecah.

Dengan takzim, Nabi Musa melaksanakan perintah Allah. Sejurus-dua jurus, belum terjadi apa-apa. Tangan masih kuat, mata Nabi Musa masih tetap segar. Namun saat malam semakin larut, mata Nabi Musa semakin berat. Kantuk menyerang alangkah hebat. Genggamannya merenggang, kedua botol itu jatuh menimpa pahanya. Nabi Musa tergeragap dan segera mengambil kedua botol itu, memegangnya lebih erat dan berusaha menghalau kantuk. Namun hal itu tidak berlangsung lama. Di sepertiga malam, kantuk menghebat. Matanya terpejam, Nabi Musa tak kuat lagi. Akhirnya Nabi tertidur, pulas sekali. Saking pulasnya, Nabi tak sadar bahwa botol yang dipegangnya sudah jatuh dan pecah. Begitu bangun, hatinya amat masygul karena telah lalai dan tak mampu melawan rasa kantuk. Nabi Musa sedih bukan kepalang.

Kemudian di tengah kesedihan itu, Allah Swt. berfirman, “Wahai Musa, kalau saja aku tidur sebagaimana pulasnya tidurmu, langit dan bumi ini juga akan jatuh dan pecah. Berserakan. Sama seperti kedua botol yang kau genggam tadi.”

Begitulah Allah menganalogikan botol-botol tersebut seperti semesta dan seisinya. Jika Allah, Sang Pemilik alam ini memiliki kebiasaan yang sama dengan makhluk-Nya, yaitu tidur, tentu alam ini akan berserakan. Sejatinya Allah juga memberi tahu kita tentang metode mengajarkan dan menyampaikan suatu pesan. Agar pesan tersebut mampu dipahami dengan baik. Yaitu dengan menyepadankan dua hal yang berlainan, seperti dalam kisah di atas.

Maka yakinlah, Allah tidak pernah tidur. Dia menjaga kita. Allah tidak pernah tidur. Dia melihat apapun yang kita lakukan, sekecil apapun perbuatan. Allah tidak pernah tidur. Dia mendengar semua do’a-do’a kita.

Untuk yang kesekian kali, ALLAH TIDAK PERNAH TIDUR!

Meski begitu, percayalah, bahwa tidak semua yang kita inginkan akan dikabulkan. Karna Dia lebih mengetahui segala yang terbaik. Terkadang, Allah memberi apa yang kita butuhkan, bukan apa yang kita inginkan.

Saturday, October 15, 2016

Telak!!!

Di kamar, malam yang semakin larut ini terasa semakin sunyi. Deru angin yang menghantarkan udara dingin semakin menusuk sendi. Namun tetap saja kantuk tak jua menghampiri. Tuhan sengaja menciptakan kesunyian, barangkali. Agar kita bisa lebih leluasa berdialog dengan diri. Disadari atau tidak, dalam keseharian, kita lebih banyak menggunakan otak kiri. Lalu di mana kau letakkan nuranimu, Hei?

Kalau sudah begini, rasanya tenaaang sekali *lebay*. Sepertinya Tuhan pun sengaja menciptakan malam agar setiap kita bisa cuti dari kebisingan. Biasanya, dalam suasana seperti ini, akan terlintas banyak gagasan-gagasan cemerlang. Kita, semacam dilimpahi tumpukan-tumpukan ide brilian yang tak pernah habis isinya. Namun esok, –dalam sekejap– tak lagi kita temui ide-ide itu di sini. Tuhan hanya meminjamkannya semalam saja. Maka jika harus tak tidur dalam waktu semalam, sepertinya saya mampu. Sembari terus berdo’a agar Tuhan senantiasa melindungi saya dari kondisi kesehatan yang memburuk.

Mengapa begitu? Karna esok, saat Tuhan ambil kotak-kotak ide itu, saat niat-niat baik dan gagasan cemerlang itu tak lagi di sini, kemungkinan akan rumit saya peroleh lagi. Ide itu seperti binatang buas. Niat juga sama, ia perkara yang sulit ditaklukkan. Jika sekarang kita bilang “A”, maka lima belas menit berikutnya bisa jadi “B”, untuk kemudian berubah lagi menjadi “C”.

Meski kita sudah melewati banyak pintu-pintu dan level-level niat, sejatinya sepanjang perjalanan itu, kita hanya mengalami peningkatan dan penurunan. Sesekali ia berada di puncak lantas dengan sigap kita merealisasikannya. Namun sesekali ia berada di lembah, yang selalu berada di bawah dan masih jauh dari wujud konkret.

Sejenak saya tertegun. Lebih banyak niat baik yang saya realisasikan atau sebaliknya? Aih, pertanyaan itu menohok, membuat skakmat. TELAK!!!

Yuk, tinggalkan jejak!

Terima kasih teman-teman yang sudah berkunjung. Silakan berkomentar di sini... ^_^

Sincerely, Ratih Dian.