Hai, pria berpayung merah.
Bagaimana kabarmu ?
Sudah lama aku tak melihat sosokmu,
tapi bayangmu masih menari di pelupuk, menyisakan ruang di pikiran. Sebenarnya
aku selalu berharap bisa melihatmu lagi. Tapi nampaknya tuhan masih belum
mengizinkan.
Aku masih ingat pertemuan pertama
kita, saat aku memandangmu dari belakang, meskipun jarak kita tak terlalu jauh,
tapi kau tetap tak bergeming dan menikmati pandanganmu sendiri.
Kau tahu apa yang kulakukan
sesampainya di rumah sore itu ??? ohya, apa kau ingat pertama kali kita bertemu
? sore itu aku sedang menunggu bus di halte dan kau sedang asyik menikmati
gerimis. Hem, baiklah. Semoga kau masih ingat momen itu.
ah, kupikir untuk tahu namaku
saja kau tidak begitu tertarik. Jadi untuk apa pula kau tahu banyak tentangku.
Tapi tak apalah, aku hanya ingin melegakan, setidaknya aku sudah mengungkapkan
meski kau tak memperdulikan.
Sesampainya di rumah sore itu,
entah mengapa dorongan untuk menulis begitu menggebu-gebu. Ya, apa lagi kalau
bukan menulis tentangmu. Tak peduli meski kau tak membacanya. Menulis tentangmu
bisa membuatku lupa waktu, aku sanggup melewati batasan lazimnya, bahkan aku
terlalu larut menenggelamkan diri untuk menuliskanmu dalam catatan harianku.
Oh, lihatlah betapa ‘sok tahu’
nya aku ini ?
Dalam pertemuan pertama aku sudah
bisa menyimpulkan banyak hal, menduga-duga pribadimu, sedikit menghayal jika
suatu saat kita bertemu lagi dan kau menyapaku. Oh My God.. lupakan soal yang
satu ini! Memikirkan hal itu bisa membuat jantung berdetak lebih cepat, pipi
memerah seperti tomat, dan bibir tertutup rapat.
Lupakan! Lupakan! Lupakan!
Tapi aku tak bisa!
Semakin berusaha melenyapkanmu
dari pikiran, justru kau semakin mendekat (oh maaf, hanya bayanganmu yang ku
maksud).
untukmu, pria berpayung merah.
Esok atau lusa semoga tuhan
mengizinkanku melihatmu.
(Sebelumnya, Pria berpayung merah klik di sini)
No comments:
Post a Comment